Minggu, 22 Januari 2012

EUTANASIA





EUTANASIA


                                                                     Makalah
Disusun untuk memenuhi persyaratan dari
Mata kuliah Etika Kristen



 






Nama: Marlina
NIM: 010-562



SEKOLAH TINGGI TEOLOGI IKSM SANTOSA ASIH
Jakarta
2011







DAFTAR ISI
A.    PENDAHULUAN

1.      Latar belakang…………………………………………………….         1
2.      Alas an ……………………………………………………………         1

B.     EUTHANASIA

1.      Pengertian………………………………………………………..           2
2.      Macam-Macam Aspek…………………………………………..            3
3.      Eutanasia menurut ajaran agama……………………………….. 4
4.      Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioeti .           7
5.      Segi positif dan negati…………………………………………..                        8

C.    PENUTUP

1.      Kesimpulan………………………………………………………           12
2.      Saran……………………………………………………………..           12

DAFTAR PUSTAKA










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Apa yang harus kita lakukan kepada seseorang yang tidak memiliki harapan dimana dia terjebak dalam sebuah pesawat erbang yang terbakar, yang memohon agar dia ditembak?mengapa seorang manusia tidak dilakukan dengan pennyayang seperti seekor binatang? Atau ketika seorang bayi cacat yang sangat mengerikan pada saat lahir dan tiba-tiba berhenti bernapas, apakah secara moral dokter akan melakukan penyembuhkan kembali? Bukan lebih baik membiarkankan dia mati? , ada orang yang mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan dia tetap dipertahankan untuk hiduphanya dengan sebuah mesin. Jika sambungan pipanya dicabut dia akan mati, jika dia dibiarkan hidup, maka kehidupan yang dimiliki seperti tumbuh-tumbuhan. Situasi seperti ini memfokuskan masalah etis yang tidak dapat dipisahkan dengan eutanasia dan pembunuhan terhadap bayi.

B.     Alasan
Ada beberapa alas an kenapa orang melakukan euthanasia:
1.      Kemungkinan orang tersebut tidak mempunyai uang untuk berobat pasien tersebut.
2.      Karena orang tersebut tidak ada kesempatan lagi untuk hidup jadi untuk mempercepat dengan melakukan euthanasia.
3.      Karena orang tersebut tidak dapat melakukan apapun, menyusahkan bagi keluarganya.
4.      Karena sudah tua tidah usah dilama-lamakan.
5.      Karena dengan ini orang tersebut tidak perlu membunuh secara langsung.
6.      Karena merasa malu dengan kondisi seperti itu.










BAB II
EUTHANASIA
A.    pengertian
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and
with dignity, & Thanatos yang berarti mati.
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.[1] Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”. Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan kejahatan?
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1.      Berpindahnya  ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2.      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3.      Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.[2]

Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah:
a.       Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.
b.       Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
c.        Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan berbagai pendapat sebagai berikut:
Ø  Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
Ø  Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
Ø  Assisted suicide: Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan & alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
Ø  Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan adalah meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan & pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan.[3]
B.     macam-macam aspek
1.      Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.
2.      Aspek Hak Azasi
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
3.      Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.
4.      Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, & putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.[4]

C.    Eutanasia menurut ajaran agama

1.      Dalam ajaran gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung".
2.       Dalam ajaran agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
3.      Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna")
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.
4.      Dalam ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
5.      Dalam ajaran gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
6.       Dalam ajaran agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
7.       Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
  • Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
  • Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan. [5]
D.    Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioeti
Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.[6]
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Ada empat metode euthanasia:       
  • Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.
  • Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).
  • Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.
  • Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.
Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:
  • Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.
  • Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.
Ada kasus ketika meningkatkan dosis pengurang rasa sakit, seperti pemberian Morfin, dapat memperpendek umur pasien. Namun pemberian morfin tidak dimaksukan untuk menimbulkan kematian, sehingga dipandang secara moral berbeda. Kasus ini juga dapat dilihat dari perspektif falsafah ‘efek ganda’. Prinsip ini berasal dari filsafat moral Immanuel Kant, yang juga dipopulerkan oleh Gereja Katholik. Falsafah ‘efek ganda’ menekankan bahwa suatu efek tindakan tidak akan bisa diterima secara moral ketika ia terjadi secara sengaja, namun tindakan itu akan diterima jika tidak disengaja.
E.     Segi positif dan negati
Eutnasia merupakan salah satu hasil langsung dari moral baru dan etika situasi. Keadaan ini kita hadapi pada masa kini mewajibkan semua orang beriman mengerti prinsip-prinsip etis yang melatarbelakangi eutanasia, tidak terkecuali ahli-ahli tekhnik. Eutanasia belum disetujui sebagai siasat politik yang resmi, namun demikian eutanasia yang tidak resmi menjadi cukup meluas, oleh karena itu membutuhkan pemikiran kita yang kritis. 
Terlebih dahulu kita mencoba untuk memaklumi Inti persoalan dipergumulkan oleh pihak yang pro dan yang anti eutanasia, dan tujuan apakah yang begitu menarik. Ternyata tujuannya meliputi dua keadaan.
1.      Kematian seseorang yang sudah menghadapi ajalnya dapat ditunda melalui alat-alat medis-teknologis yang serba up to date (penundaan bersifat sementara).
2.      Kematian seseorang dapat dipercepat walaupun menurut perkiraan medis mempunyai kesempatan hidup lebih lama, meski penderitaanya semakin memuncak dan seluruh keadaannya makin merosot.[7]
1.      Segi positif (pro eutanasia)
Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang difabel, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.[8]
a.       Dari sudut pasien
1.      Seandainya seorang menderita kecelakaan yang mengakibatkan dia bergantung semata-mata pada “lebensmaschinen” (mesin teknologis yang mempertahankan eksistensinya, misalnya mesin jantung, ginjal, paru-paru, dan sebagainya).
2.      Seandainya seorang keluarga penderita atau penderita sendiri terjerumus kedalam frustasi dan kesakitan yang makin parah. Mungkin saja dia mempunyai pikiran seperti ini:”manusia sekarang membuat rencana untuk menetapkan saat-saat kelahiran seseorang anak serta mempropagandakan keluarga berencana demi kemajuan masyarakat.
b.      Dari sudut tenaga medis
Tujuan dalam pemakaian fasilitas eutanasia ialah untuk mencetuskan belas kasihan secara praktis.
Benarkah penderita tidak mengandung nilai-nilai positif? Benarkah nahwa semua penderita senan tiasa bersifat negatif? Mungkinkah seorang bersi keras, berkepala batu, bersifat egois, kasar dan tidak peka terhadap situasi ataupun sasamanya akan berubah sifatnya? Kemungkinan itu ada kalau orang tersebut :
1.      Menyaksikan penderitaan seseorang yang tidak bersalah tetapi rela berkorban  demi dan untuk kebenaran.
2.      Penderitaan sendiri, karena dapat mulai merenungkan jalan kehidupannya selama ini serta motivasi-motivasi yang telah menjadi pendorong bagi dia.
c.       Dari sudut Alkitab
Yohanes 15:13 menekankan aspek pengorbanan kasih yang sangat besar khasiatnya apabila seseorang karena kasih “memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. Prngorbanan Kristus telah menghasilkan keselamatan jiwa kita semua dan perubahan status: dibawah hukuman dan murka Allah menjadi di bawah anugrah.
Motivasi baik daripada seorang pasien yang rrela mengorbankan dirinya demi meringankan beban keluarganya, mukin menyebabkan kemunduran dan kemerosotan mental mereka, sehingga pengorbananya tidak dapat diktakan mendatangkan hasil yang positif.
2.      Segi negatif (anti eutanasia)
a.       Dari sudut pasien
Seorang pasien sering kali di datangi oleh keluarganya yang setia dan penuh kasih, akan menderita tekanan batin: “kasihan, kekasihku, jauh-jauh ia datang, mahal ongkosnya, dan repot sekali naik kendaraan.
Kemungkinan besar keluarga menderita juga merassa tersiksa melihat kekasihnya   Menderita terus-menerus. Mungkin mereka menyaksikan bahwa penderitaannya bertambah berat. Barangkali dengan pertimbangan yang semata-mata bersifat non egois yang hanya memikirkan kebaikan kekasihnya, sehingga mereka bersedia untuk berkornam dan sama sekali tidak menyesali pengorbanan mereka.
Jangan kita lupa bahwa kita makhluk sosial yang bermasyarakat selalu mempunyai tugas dan fungsi sebagai anggota masyarakat. Begitu pula dengan seseorang yang berbaring di rumah sakit sehingga tidak lahi mampu memikul tanggung jawab rumah tangganya dan pkerjaannya yang menjadi kewajibannya namun peran orang itu sebagai anggota masih tetap.
b.      Dari sudut penderitaan
Banyak hal dinilai buruk, namun kalau di pandang dengan mata rohani menjadi indah, karena melihat tujuan akhirnya dan bukan hanya keadaan sekarang yang nyata. Nyata itu sebagai orang beriman bahwa iman membebaskan kita dari kesia-siaan hidup:  kita dapat bersukacita sambil mengeluarkan air mata  “ bersukacita senantiasa dalam Tuhan” dan mengucap syukur dalam segala hal Fil 4:4.
c.       Dari sudut Alkitab
Alkitab tidak mengutamakan kehidupan jasmani, melainkan kehidupan rohani. Demi jiwa yang harus diselamatkan, kadang-kadang tubuh kasar kita harus dikorbankan. Hal ini tidak mungkin disalah tafsirkan. Bukan maksudnya untuk meremehna tubuh jasmani manusia menjadi kediaman roh kudus. Tubuh harus dipelihara dengan penuh tanggung jawab, tetapi tubuh kita yang fana ini tidak sama harganya ddengan jiwa kita yang baka.
Yang berhak menentukkan saat kematiaan adalah sang pencipta yang telah mengaruniakan nyawa kepada manusia.
Allah dapat berkomunikasi dengan insan yang sudah tidak mampu lagi berkomunikasi dengan insan lain.
Eutanasia yang kami maksud ialah keputusan manusia yang mengakhiri kehidupn seseorang yang bergantung semata-mata pada mesin-mesin kehidupan. Maksunya keputusan untuk mempercepat kematiaan seseorang: melalui penahanan obat, melalui penyajian obat yang disengaja mempersingkat eksistensinya.

d.      Dari sudut medis
Ia memutuskan sesuatu dengan keterbatasan kemampuan manusiawinya, sedangkan keputusan tersebut membutuhkan pengetahuan Allah yang bersifat mahatahu.
      Seorang dokter tidak selalu benar prognosinya, tidak selalu tepat perkiraannya tentang keadaan pasiennya.
      Seorang dokter tidak mengetahui rencana Allah bagi pasiennya. Apakah Allah hendak menyembuhkannya secara ajaib dengan jalan mujizat, demi dan untuk sesuatu maksud tujuan Allah sendiri.
      Eutanasia itu sangat tidak wajar, terlebih lahi untuk diwajibkan, meski ditinjau dari segi manapun. Eutanasia itu kan wajib? Ya wajib untuk di pelajari prinsip-prinsipnya, lalu wajib untuk dihapuskan dari perencanaan manusia pada tingkat pribadi (individual), masyarakat (sosial) ataupun bangsa (nasional), pada tingkat rohani maupun politik.
      Sebaiknya manusia mengakui dan memaklumi kodratnya yaitu: sebagai ciptaan, bukan pencipta.[9]

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Eutanasia berarti kematian yang baik atau tanpa rasa sakit. Eutanasia aktif dalam mencabut nyawa manusia. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentang pendapat dengan menggunakan argumen quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum. Namun demikian, argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas lebih kuat.
Argumen pertama yaitu secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk
menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk
mengakhirinya. Dasar agama adalah argumen berikutnya, di mana dokter percaya
kesucian dan kemuliaan kehidupan manusia. Dari segi respek moral, pilihan untuk
membunuh, baik orang lain maupun diri sendiri adalah imoral karena merupakan
tindak sengaja untuk membunuh seorang manusia. Dari segi legal, seorang dokter
yang melakukan euthanasia atau membantu orang yang bunuh diri telah melakukan
tindakan melanggar hukum. Argumen terakhir adalah sulitnya untuk melegalisir
euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur yang efektif.
B.     Saran
Dalam menyusun makalah yang berjudul “Eutanasia” disini penulis membahas bagaimana Eutanasia yang ada dalam masyarakat dan berkembang nya euthanasia serta dampaknya bagi masyarakat. Dan penulis disini tidak terlalu benyak atau mendalam membahasnya karena penulis masih belajar untuk menulis karya ilmiah ini dan penulis meminta saran dari setiap para pembaca supaya penulis dapat menulis makalah lebih bagus lagi untuk kedepannya.












DAFTAR PUSTAKA
            Marx, Dorothy L. itukan boleh?. Bandung: Yayasan kalam hidup, 1998
            Geisler, norman l. Etika kristen pilihan dan isu. Malang: Seminar Alkitab Asia tenggara, 2000


                [1] norman l. Geisler. Etika Kristen Pilihan Dan Isu., (Malang: Seminar Alkitab Asia tenggara, 2000) 199-217
[2] Ibid
                [4] http://es.wikipedia.org/wiki/Eutanasia

                [6] Lop chit

[7] Ibid 199-127
                [8] Dorothy L. Marx, itukan boleh?. (Bandung :Yayasan kalam hidup, 1998). hal 81

[9]Ibid hal 81